ISLAM, INTELEKTUAL DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

ISLAM, INTELEKTUAL DAN PERUBAHAN MASYARAKAT                                                                                                             Indira S. Rahmawaty

INTELEKTUAL, SIAPA MEREKA?
Y.B. Mangunjaya menyamakan istilah intelektual dengan istilah cendikiawan. Intelektual berasal dari akar-kata bahasa latin interlego atau intellego yang secara harfiah berarti “aku membaca diantaranya” atau “aku memisah-uraikan” sambil mengendapkan dalam bathini. Artinya dia adalah seseorang yang dalam dan intens memikirkan atau menghayati sesuatu (Wiratmo Soekito, Cendekiawan dan Politik, 1983:96, LP3S)
Dalam bahasa Inggris, intelektual berarti “ Having or showing good mental powers and understanding” (memiliki atau menunjukkan kekuatan-kekuatan mental dan pemahaman yang baik). Diartikan juga Intelektual sebagai  “the power of mind by which we know, reason and think” (kekuatan pikiran yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berfikir).
Lewis A. Coser dalam bukunya Men of Idea menyatakan bahwa cendikiawan adalah orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya…Mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku saat itu, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas (1965: hal. Viii)
Sementara Ali Syari’ati menegaskan bahwa kaum intelektual dalam arti sebenarnya, bukanlah sarjana, yang hanya menunjukkan sekelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga bukan sekadar ilmuwan, yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternative pemecahan masalah. (Ali Syari’ati, Ideologi kaum intelektual: Suatu wawasan Islam. 1984: 15 Mizan)
Dan Al-Qur’an sudah lebih  awal, melampaui pendapat-pendapat di atas, mengenalkan kepada kita istilah ulul albaab  sebagai istilah yang mewakili hal-hal di atas. Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal. Ulul albab sosok yang mendapatkan pujian dari Allah SWT. Jika merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an, kelompok ulul-albab  ini adalah Intelektual sejati. Mereka adalah orang-orang yang dicirikan dengan karakter-karakter di bawah ini :
1.         Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7) dan memikirkan ciptaan Allah (QS 3:190).
2.         Mampu memisahkan yang jelek dengan yang baik. Kemudian mereka memilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang (QS 5:100)
3.         Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka  mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS 39:18)
4.         Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat (QS 14:52).
5.         Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah (QS 5:179 dan 65:10).
GEBRAKAN KAUM INTELEKTUAL EROPA: SEBUAH CONTOH USAHA DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT
Dengan karakteristik intelektual di atas, tentu suatu hal yang wajar jika kaum intelektual menjadi kaum yang banyak berperan –dan diharapkan berperan-- di tengah masyarakat, baik masyarakat Islam maupun masyarakat barat non-Islam.
Contoh sengaja yang paling banyak disebut adalah gebrakan intelektual Eropa di Abad ke-17 sampai abad ke-19. Ali Syariati menyebut abad ke-17 sebagai abad intelektual yang telah terbebaskan dari pengaruh Gereja, terbebas dan sadar, mampu berfikir, mencari, menganalisis dan mengevaluasi segala sesuatu secara kritis, selektif dan bergairah.
Kemudian hadirlah abad ke-18 sebagai masa kebangkitan nasional dan revolusi kemerdekaan. Abad tersebut juga merupakan abad humanitarianisme. Kaum intelektual masa itu memiliki pemikiran-pemikiran analitis dan pemikiran-pemikiran yang bersifat menyelidik. Mereka mendukung demokrasi, kebebasan, kemanusiaan dan revolusi Perancis.
Abad ke-19 merupakan abad ideology. Anda bisa melihat bagaimana secara sistematis Eropa maju. Evolusinya sejajar dengan kemajuan mental individu. Pada awalnya Eropa merupakan penjiplak yang membabi buta. Kemudian selangkah demi selangkah ia mengenali dirinya sendiri. Selanjutnya  Eropa tampil melawan fanatisme. Pemberontakannya itu membantu dirinya memperoleh kemerdekaan berfikir; sekarang ia mahir menganalisa segala sesuatu dan menyajika berbagai macam teori. Pada abad ke-19 Eropa diberkahi keyakinan yang khas dan jelas – suatu bentuk ideology— (hal 106-107). Ideologi yang saat ini kita kenal sebagai Kapitalisme dengan sekulerisme sebagai asasnya.  
Diawali dengan pandangan kaum intelektual terhadap sains yang bergulir pada benturan dan akhirnya perubahan. Menurut mereka, sains adalah segala-galanya, bahkan jika teori rasionalitas (termasuk agama) bertabrakan dengan sains, maka sains yang didapat dari logika deduksi atas pengamatan dan penelitian bisa menyalahkan agama dan mengubahnya. Bukti  bahwa sains adalah segala-galanya ini adalah aksi perlawanan yang dilakukan Copernicus. Teori Copernicus tentang matahari sebagai pusat Tata Surya, yang menjungkirbalikkan teori geosentris tradisional (yang menempatkan Bumi di pusat alam semesta) dianggap sebagai salah satu penemuan yang terpenting sepanjang masa, dan merupakan titik mula fundamental bagi astronomi modern dan sains modern (teori ini menimbulkan revolusi ilmiah).
“Ada beberapa 'pembual' yang berupaya mengkritik karya saya, padahal mereka sama sekali tidak tahu matematika, dan dengan tanpa malu menyimpangkan makna beberapa ayat dari Tulisan-Tulisan Kudus agar cocok dengan tujuan mereka, mereka berani mengecam dan menyerang karya saya; saya tidak khawatir sedikit pun terhadap mereka, bahkan saya akan mencemooh kecaman mereka sebagai tindakan yang gegabah”.
Kopernikus menulis kata-kata yang dikutip di atas kepada Paus Paulus III. Kopernikus mencantumkan kata-kata itu dalam karya terobosannya yang berjudul On the Revolutions of the Heavenly Spheres (mengenai perputaran bola-bola langit), yang diterbitkan pada tahun 1543. Mengenai pandangan yang dinyatakan dalam karyanya ini, Christoph Clavius, seorang imam Yesuit pada abad ke-16, mengatakan, "Teori Kopernikus memuat banyak pernyataan yang tidak masuk akal atau salah". Teolog Jerman, Martin Luther, menyayangkan, "Si dungu itu akan mengacaukan seluruh ilmu astronomi".
Sejak meninggal 500 tahun lalu, tidak ada yang tahu di mana Copernicus dimakamkan. Pada tahun 2004, para ilmuwan pun bertekad mencarinya. Hanya butuh waktu setahun untuk menemukan jasad Copernicus. Pada 2005, mereka menemukan rangka tengkorak dan tulang manusia di kuburan yang tak bertanda di bawah lantai Gereja Katedral di Frombork, Polandia.
Kemudian ada Galileo dan Giordano Bruno  yang menentang atas doktrin gereja yang mendukung teori Geosentris. Bruno  tewas di tiang gantungan pada tahun 1600, ini adalah perjuangan saintifik untuk merubah doktrin dan dominasi agama (baca: gereja).
Tokoh lain adalah John Locke (1632-1704) seorang filsuf Inggris yang menganjurkan adanya undang-undang (konstitusi) dalam suatu kerajaan dan berpendapat bahwa manusia memiliki hak-hak sejak lahir seperti hak kemerdekaan, hak memilih, hak untuk memiliki dan sebagainya. Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik amat besar di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, Jerman, bahkan hingga Amerika Serikat.[6] Bapak-bapak pendiri negara Amerika Serikat, seperti Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide politik Locke.[6] Kemudian para filsuf Pencerahan Perancis, seperti Voltaire dan Montesquieu, juga dipengaruhi oleh Locke.[6][7] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran politik Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Perancis tanggal 14 Juli 1789.  Kemudian ada  Jean jacques Rousseau (1712-1778), Seorang filsuf Perancis dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social (Perjanjian Masyarakat), mengatakan bahwa manusia sejak lahir adalah sama dan merdeka. Oleh karena itu ia menganjurkan sistem pemerintahan demokrasi atau kedaulatan rakyat dengan semboyan ” dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Di Perancis,  latar belakang mereka melakukan semua hal tersebut adalah tidak puas terhadap kenyataan yang terjadi ketika penguasa Perancis menghamburkan uang negara yang dilakukan oleh permaisuri raja Louis XVI yakni Marie Antoinette beserta putri-putri istana lainnya. Klimak dari situasi tersebut adalah serangan terhadap penjara Bastille tanggal 14 juli 1789. Penjara ini merupakan lambang kekuasaan dan kesewenangan raja-raja Louis.
Selanjutnya, terdapat seorang biolog dan genetikus N. Vavilov yang di hukum mati karena tidak mau mengikuti gagasan Marxis dan filsuf Lysenko, Thomas mann yang melawan Hitler, Solzhentsyn dan sakarov yang melawan Negara industry, Malraux yang melawan pemerintahannya sendiri dalam soal Aljazair atau Paulo freire melawan system pendidikan kapitalis yang membodohkan rakyat. Di Indonesia ada K.H A. Dahlan, H.O.S Cokroaminoto.  Di dunia Islam ada Hasan AI-Banna, Fetthullah Gulen, Sayyid Qutb, dll.
Kembali pada time line sejarah sains, 150 tahun setelah Revolusi Sains atau Revolusi Ilmiah, muncullah Renaisans. Renaisans adalah muara dari revolusi sains yang mengkristalkan perjuangan masyarakat Eropa untuk membebaskan diri tidak saja dalam pemikiran saintifik, namun juga dalam beragama, berseni, berbudaya, hingga bersosial, berekonomi dan berpolitik. Renaisans ini menimbulkan pergolakan politik di Perancis dengan tumbangnya kaum borjuis dan meluas ke seantero Eropa. Inggris menyambutnya dengan Revolusi Industri untuk merubah masyarakat feodal yang berbasis agraris menjadi masyarakat industri yang mengelaborasi kepentingan kaum buruh dan rakyat kebanyakan. Revolusi Industri inilah yang menjadi titik quantum berkembangan teknologi modern yang memproduksi benda-benda yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Revolusi Industri inilah yang mengantarkan Inggris menjalankan politik imperialisme untuk mendukung kebutuhan industrinya. Maka pada tahun 1870 dapat dikatakan sebagai periode awal kelahiran imperialisme. Imperialisme dimaksudkan untuk menjelaskan penyebaran kapitalisme Inggris, dan kemudian diikuti negara-negara Eropa lainnya ke seluruh dunia pada abad ke-19. Wibisono, Y. Syariah Islam Jalan Tunggal Menuju Kemerdekaan Hakiki. Majalah Al Wa’ie No 72 Tahun VI 1-31 Agustus 2006
Dari pemaparan diatas maka jelaslah bahwa kemajuan peradaban Barat diawali oleh usaha keras dari para intelektual yang memiliki pemikiran dan keberanian.  Dari sini kita bisa mendapatkan bukti bahwa kaum intelektual memiliki peranan penting dalam perubahan masyarakat, terlepas dari apa yang diperjuangkan dan wujud perjuangan tersebut salah atau benar.
KAUM INTELEKTUAL DAN KEKUATAN IDEOLOGI
Namun pertanyaan selanjutnya, dari mana pemikiran dan keberanian tersebut datang dan menggelora? Syekh Taqiyuddin An Nabhani yang selarasnya dengan pendapat Ali Syari’ati menjawabnya dari IDEOLOGI. Ya, ideology.  Syari’ati menggambarkan ideologi sebagai kata magis yang mampu mencetuskan pemikiran dan godaan hidup atas manusia, khususnya bagi kaum muda dan lebih khusus lagi bagi kaum intelektual suatu masyarakat yang bagi mereka bahkan bisa mengundang pengorbanan diri.  (Ideologi Kaum Intelektual, hal 71)
Dan cendikiawan atau ilmuwan belum tentu seorang ideolog. Seorang filosof bukanlah seorang ideolog, demikian pula seorang seorang ilmuwan bukan seorang ideolog, seorang ideolog pun tak mesti seorang ilmuwan atau filosof. Kesadaran ideologis merupakan suatu kesadaran khusus yang khas bagi manusia, manusia macam apapun; ia bisa terpelajar atau tak terpelajar, melek huruf atau buta huruf, ningrat atau jelata; banyak individu pada berbagai tingkatan cultural atau pada berbagai tingkatan intelektual dapat mencapai suatu kesadaran ideologis
Aristoteles bukanlah seorang ideolog karena ia tidak memprakarsai sebuah gerakan social dan revolusi dalam masyarakat ataupun mencoba menyadarkan rakyat yang menderita pada zamannya terhadap kenyataan masyarakat mereka. Plato tidak berbeda dari Aaristoteles karena ia tidak banyak berbuat untuk memecahkan masalah-masalah di masyarakatnya. Begitu juga Ptolomeus yang merupakan seorang ilmuwan dan fisikawan, yang penuh dengan pengetahuan ilmiah tetapi ilmunya tak mempunyai pengaruh apapun terhadap zaman dan masyarakatnya.
Karena ideology adalah pemikiran yang menyeluruh tentang manusia, alam semesta, kehidupan yang melahirkan system yang mampu menjawab segala persoalan yang terjadi pada ketiganya. Dan sesungguhnya kebangkitan atau perubahan itu tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan adanya mabda (ideologi) yang tegak di atas aqidah aqliyah, yang akan melahirkan sistem peraturan. Mabda itu merupakan asas pemikiran yang terdapat dalam kehidupan manusia (1998: 187). Mabdalah yang akan membuat manusia mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan. Karena mereka yang mempunyai tujuan hiduplah yang memiliki gambaran kehidupan ideal yang ingin diwujudkan. Dia memiliki grand design realitas pengganti ideal yang diinginkannya. Ideologi adalah keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang ada. Ia mengarahkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk mencapai tujuan-tujuan dan ideal-ideal yang mereka cita-citakan, yang untuk tujuan dan ideal tersebut mereka rela berjuang dan bertempur. Tanpa ideology yang jelas maka tidak akan terjadi perubahan masyarakat. Sebagaimana perubahan eropa diawali dengan diyakininya: SEKULERISME dan KAPITALISME.
IDEOLOGI ISLAM: DAYA DORONG UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN BESAR MASYARAKAT
Islam sebagai ideology adalah nyata, Islam sebagai sistem hidup dan memiliki misi universal tidak hanya dipahami oleh mainstream aktivis pergerakan Islam, namun kalangan propagandis kapitalis seperti Francis Fukuyama juga memahami betul karakter Islam seperti ini.  Ia mengatakan:
"Adalah benar bahwa konstitusi Islam merupakan sebuah ideologi sistemik dan koheren, seperti halnya liberalisme dan komunisme, dengan kodenya sendiri mengenai moralitas dan doktrin keadilan politik dan sosial. Seruan Islam secara potensial adalah universal, yang menjangkau semua manusia sebagai manusia dan bukan hanya untuk anggota-anggota dari kelompok etnis atau bangsa tertentu.” (Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, terjemahan oleh M.H Amrullah, penerbit Qalam, Yogyakarta, 2004.)
Dengan melihat kenyataan bahwa Islam sebagai ideologi dan memiliki misi yang bersifat universal, maka Islam sangat layak untuk membangun dunia yang baru. Islam sudah saatnya menggantikan kapitalisme untuk melayani semua manusia. Mengapa harus Islam? Selain karena kewajiban bagi kaum muslim dan kesempurnaan sistem kehidupan Islam, Islam juga telah terbukti secara empirik-historis membangun peradaban unggul.
Namun saat ini kita dihadapkan pada kondisi sebagian besar kaum muslimin, termasuk kaum intelektual yang sudah kehilangan dan berpaling dari ideology Islam. Sehingga kondisi kaum muslimin dan manusia secara umum tetap ada dalam keterpurukan. Cukuplah apa yang ditulis oleh pernyataan Hafizh Shalih dalam bukunya “Kebangkitan” untuk menggambarkannya:
Apakah banyaknya sekolah, lembaga pendidikan, perguruan tinggi,sarjana dan lulusan pasca sarjana (S2/S3 atau magister dan doktor, pen.) diseluruh bidang yang ada merupakan tanda kebangkitan sebuah negeri atau hanya merupakan proses menuju sebuah kebangkitan?
Sesungguhnya fakta menunjukkan bahwa sebagian besar negeri-negeri yang terbelakang tersebut tidak mampu melakukan apa-apa walaupun memiliki banyak sarjana dan lulusan pasca sarjana sehingga mereka menjadi tidak berguna, menjadi beban bagi negeri mereka dan tidak dapat disalurkan di lapangan kerja yang cocok dengan bidang mereka. Hal itu merupakan salah satu faktor yang memaksa mereka untuk pergi mencari pekerjaan ke luar daerah tempat tinggal mereka. Hal itu juga memaksa negeri mereka untuk membuat kebijakan pendidikan untuk membatasi jumlah sarjana diberbagai bidang serta membuat kriteria dan nilai tertentu untuk dapat lulus ketika melakukan penerimaan siswa baru. Hal itu dilakukan agar dapat meningkatkan kapasitas para sarjana yang tersebar di seluruh wilayah negeri tersebut dalam mencari pekerjaan atau menjadi karyawan sehingga dapat memberikan kesejahteraan hidup bagi mereka.
Jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di sebagian besar negeri-negeri yang disebut dengan negara dunia ketiga atau negara berkembang melebihi jumlah sarjana dan lulusan pasca sarjana di negeri-negeri yang sudah maju. Akan tetapi, para sarjana dan lulusan pasca sarjana tersebut telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan ke negeri-negeri yang sudah maju. Bahkan banyak di antara mereka yang melepaskan kewarganegaraannya agar dapat tinggal di negeri-negeri tersebut. Seandainya kita memperhatikan negeri manapun dari negeri-negeri dunia ketiga –yaitu negeri-negeri Islam- maka kita akan melihat perkara yang tidak masuk akal dan membingungkan. Ambil contoh negeri Mesir atau Pakistan atau Yordania atau Libanon atau Suriyah atau Turki atau yang lainnya, maka kita akan menemukan bahwa ratusan ribu putra-putrinya yang merupakan lulusan pasca sarjana di berbagai bidang seperti kedokteran, fisika, teknik, kimia, nuklir dan teknologi telah meninggalkan negeri-negeri mereka dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam rangka mencari penghidupan. Sebagian besar dari mereka tinggal di Amerika atau Jerman atau di negeri maju lainnya.
Telah banyak ulasan berkaitan dengan hal itu. Banyak penulis dan pemikir membahas hal tersebut dengan berbagai judul seperti “Pembajakan terhadap Orang-orang Pintar” atau “Hijrahnya Orang-orang Pintar ke negeri-negeri Orang Pintar” atau “Amerika telah Membeli Orang-orang Pintar Kita dengan Harta” dan judul-judul lainnya. Akan tetapi, orang-orang pintar dan para sarjana itu tidak dapat membangkitkan dan memajukan umat. ( 1998:  5-6)
Sebenarnya, jumlah total pakar di Indonesiapun dari berbagai disiplin ilmu, bukan hanya ribuan, melainkan jutaan, sebanding dengan jutaan permasalahan yang dihadapi oleh umat dewasa ini. Mulai dari problematika yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosial dan kultur budaya. Sayangnya, semua problematika tersebut tidak secara tuntas dapat  teratasi oleh para pakar yang fitrahnya seharusnya berkompeten mengatasi problematika tersebut. Sebaliknya secara faktual, lahirnya para pakar ternyata malah melahirkan masalah baru. Mulai dari penipuan, korupsi, pengangguran, pemborosan uang negara, manipulasi penggunaan uang rakyat, hingga penyalagunaan sumber daya alam yang semestinya dapat dikelola dengan optimal melalui pemberdayaan kepakaran kaum intelektual, malah berujung kesengsaraan rakyat dan generasi dalam bentuk ketergantungan bangsa  ini terhadap produk luar negeri. Hal yang ironi karena bahan bakunya sangat surplus di Indonesia. Ini benar-benar kesalahan sistemik yang sulit diselesaikan, kecuali dengan metode sistemik pula.
Saat ini, Ideologi kapitalisme yang bercokol telah banyak menampakkan efek domino kebusukannya, termasuk menimpa para intelektual muslim. Para intelektual yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Fitrah penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan Sang Khaliq seperti uraian di atas, sudah banyak dilupakan. Bahwa hakekat penciptaan manusia dan bahkan jin tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan bahwa salah satu manivestasi ibadah adalah menuntut ilmu, sehingga dengannya kita bisa mengeksplor kekayaan alam semesta yang telah dihamparkan oleh Allah SWT, selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin,  mulai ditinggalkan. Dampak semua ini adalah sebuah ironi bahwa lahirnya para pakar ternyata justru meningkatkan kuantitas  dan juga kualitas problematika umat.
Sistem kapitalistik telah menghancurkan peran utama para intelektual ini dan menjatuhkan kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan pengetahuan dan para pemilik pengetahuan sebagai budak-budak mereka. Dengan system pendidikan yang ada di Indonesia misalnya, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak mencetak intelektual yang hanya bertindak sebagai buruh-buruh murah bagi mereka. Kapitalisme juga membajak para intelektual untuk menjadi agen-agen asing yang melapangkan jalan disintegrasi bangsa. Dengan dukungan penuh kekuatan para kapitalis dari berbagai lini, negara tak sanggup menghadapi mereka.
Gejala pergeseran orientasi peran strategis para intelektual terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Kenapa hal ini terjadi? Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kuncinya. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang bersumber dari sekulerisme, yang telah memposisikan agama sebagai suatu ajaran yang harus dijauhkan/dikeluarkan dari siklus kehidupan manusia, menjadikan kebebasan meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan jasadiah menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan. Ideologi inilah yang hari ini menguasai kehidupan para intelektual di era global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan berpikir secara pragmatis dan instan. Kenapa kedua ideologi tersebut dapat tumbuh subur? Karena keduanya menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Mereka menghadang semua upaya untuk mengkondisikan para pakar mengenali dirinya sebagai manusia secara hakiki.
Sementara Islam meletakkan para intelektual, baik laki-laki maupun perempuan, dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap  perkembangan kondisi umat. Pemahaman Intelektual terhdap Islam sebagai ideology akan menjadi sumber api membara yang tak pernah padam untuk menumbangkan system status quo yang dzalim dan membela system Islam yang shahih.
Karenanya saat ini penting untuk melakukan reposisi peran intelektual. Reposisi untuk mengembalikan posisi mereka sebagaimana yang diajarkan Islam yakni  sebagai pembimbing dan pemersatu umat untuk mewujudkan bangsanya yang besar, kuat dan terdepan dalam naungan khilafah Islam, bukan mengabdi pada bangsa lain.  Umat membutuhkan  peran intelektual yang sanggup membimbing mereka. Intelektual yang mampu memetakan potensi dan memberi solusi yang benar untuk memecahkan berbagai persoalan umat. Umat membutuhkan intelektual yang sanggup berdiri di hadapan para penjajah untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar. Intelektual yang berjuang mengembalikan SDAE ke tangan umat dan memelihara kesatuan mereka dalam negara yang kuat yakni khilafah. Umat membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat membutuhkan intelektual sejati  yang memahami ideologi Islam dan menanamkannya ke tengah-tengah umat.
Secara ringkas, agar seorang intelektual muslim bisa mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka ada tiga hal yang harus senantiasa melekat pada dirinya:
1.         Memiliki kepakaran/keahlian tertentu sesuai dengan bidang yang dikuasainya
2.         Memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya. Untuk itu dia harus memiliki metode berfikir yang benar, yang dia gunakan untuk memahami realitas sesungguhnya, yaitu metode berfikir aqliyah (rasional). Sebaliknya, sekalipun arus di dunia intelektual mengajarkan untuk menjadikan metode berfikir ilmiah sebagai satu-satunya metode berpikir, seorang intelktual muslim sejati akan tetap bisa menempatkan metode berfikir ilmiah sesuai dengan porsinya yang tepat.
3.         Memahami ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Sehingga pemikiran/ konsep yang disampaikannya tidaklah bersifat praktis dan bertarget pragmatis saja. Tapi harus sampai pada tataran ideologi yang akan membentuk sistem. Dengan kata lain, seorang intelektual muslim haruslah senantiasa ideologis, tidak a-politis, dan membatasi pemikirannya pada satu kebidangan/kepakaran tertentu saja.
Untuk para intelektual, inilah langkah yang harus dilakukan:
a.       Terus mendalami ideologi islam dengan bergabung dalam pembinaan islam ideologis yang akan merubah perilaku dan meningkatkan kualitas sebagai  seorang intelektual mukminah.
b.      Mempersiapkan diri menjadi pakar islam ideologis yang siap melahirkan produk-produk ‘terideologisasi’ untuk kebangkitan dan kemuliaan umat. Termasuk di dalamnya adalah terlibat dalam penyempurnaan rincian perundang-undangan yang akan diterapkan segera setelah khilafah tegak. Berkiprah dan berkarya hanya untuk izzatul islam, negeri islam dan kemashlahatan umat. Berkiprah untuk mempersiapkan diri menjadi SDM pengisi khilafah. Berkarya untuk mempersiapkan penerapan hukum syariat di berbagai bidang.
c.       Bergabung dalam formasi barisan perjuangan penegakan syariah  dan khilafah yang rapi dan terorganisir, dengan terus-menerus mensosialisasikan ideologi islam dalam bentuk solusi masalah kehidupan masyarakat di manapun intelektual berada, sehingga masyarakat siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam. Ini kita lakukan dalam rangka memperbesar kumpulan rakyat yang mengenal dan menginginkan penerapan hukum-hukum Allah
Terakhir, upaya memperjuangkan tegaknya ideology Islam adalah perjuangan yang pasti akan mengantarkan pada kemenangan. Dengan ideology Islamlah, Rasulullah dan para shahabatnya berhasil melakukan perubahan masyarakat Arab Jahiliyah. Dalam perjalanan perjuangannya Rasulullah di dukung oleh berbagai kalangan, termasuk kalangan terpelajar saat itu. Seperti yang disampaikan Syeikh Taqiyuddin AnNabhany, kebenaran akan meruntuhkan kesombongan baik kesombongan karena harta, kedudukan maupun ilmu: orang-orang yang jiwanya memiliki kesucian, kebeningan hati dan kebenaran, mereka menanggalkan permusuhan dan kesombongan diri mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyerahkan wajah mereka kepada Allah, semata-mata karena mengetahui kebenaran dakwah Islam dan juru dakwahnya (Negara Islam,2000:35).  

Para Intelektual, teruslah bergerak hingga janji Alloh itu tegak…Raih kemenangan dan kemuliaan dari Yang Maha Memenuhi Janji, Alloh SWT.

Intellectuals awakening for KHILAFAH!

(Alhamdulilaah..Ditulis 14 Oktober 2011. Dan diedit ulang pada 4 Januari 2014
Dalam kerinduan kepada seorang shahabat yang ku cintai krn Allah dan pada para  guruku yang tak lelah mengajariku)







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unreplaceable and Unrepeatable

Tafsir Surat An-Nuur ayat 27-29: Sebuah Panduan Pergaulan yang Melindungi Kehormatan

“DAN BERSABARLAH DAN KOKOHKANLAH KESABARANMU…”