Tafsir Surat An-Nuur ayat 27-29: Sebuah Panduan Pergaulan yang Melindungi Kehormatan



Tafsir Surat An-Nuur ayat 27-29:
Sebuah Panduan Pergaulan yang Melindungi Kehormatan
Indira S. Rahmawaty

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ . فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ . لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُون

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembali (saja)lah’, maka hendaklah kamu kembali, itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (TQS. An-Nuur: 27-29)

Dalam Buku Tafsir Surat An-Nuur, Dr Muhammad Ali HAsan dan Abdurrahman Faris Abu Ulbah menjelaskan bahwa di dalam surat ini Allah swt menyeru dengan menggunakan kata: ya ayyuha al-ladzin [a] amanu… (wahai orang-orang yang beriman). Allah memanggil mereka (kaum mukmin) dengan satu sifat yang paling mereka sukai, dan sekaligus yang paling mendorong dan menggugah mereka melakukan ketaatan kepada Allah. Digunakan isim maushul,yaitu al-ladzin[a], yang merupakan lafadz yang umum, agar seruan (khithab) ini mencakup kaum laki-laki  dan perempuan yang beriman. Panggilann ini sengaja menjadi pembuka ayat karena urgensitas dari perkara yang akan disampaikan setelah panggilan. Memanggil artinya adalah menginngatkan. Dan yang memanggil disini faktanya sangat jauh dari yang dipanggil. Yang memanggil adalah Allah SWT, dan Dia adalah pencipta manusia dan segala sesuatu. Yang dipanggil adalah manusia. Jadi, disini terdapat sebuah perbedaan yang sangat jauh antara Yang Maha mencipta (al-khalik) dan yang diciptakan (makhluq). Cukup sudah kemuliaan dan ketinggian seorang makhluk bahwa dia dipanggil oleh penciptanya dan diarahkan oleh-Nya menuju jalan yang benar, Yang akan menghantarkannya kepada kebahagiaan.
Setelah menyeru, Allah melarang (kaum mukmin) memasuki rumah orang lain sampai mendapatkan izin. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa syari’at islam membagi kehidupan menjadi dua jenies kehidupan; (yaitu) kehidupan umum dan kehidupan khusus (privat). Dalam kehidupan umum tidak di perlukan izin apapun. Kita bisa datang dan pergi kapan saja, tanpa harus meminta atau mendapat izin dari orang-orang yang kita temui disana. Kita bisa masuk ke toko-toko untuk membeli apa saja yang kita inginkan, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Kita juga bisa masuk ke kantor-kantor pemerintahan tanpa izin. Kehidupan jenis pertama ini bukanlah yang dimaksud leh ayat di atas.
Berbeda dengan jenis kehidupan yang kedua. Dimana ayat diatas, dengan seruannya kepada kaum mukmin agar tidak masuik kepada oranglain yang sedang berada di dalam rumah (di dalam kehidupan khusus) sampai mendapat izin. Izin inilah yang membedakan antara dua jenis kehidupan tersebut. Kehidupan umum tidak perlu izin, dan kehidupan khusus harus ada izin apabila akan masuk ke dalamnya. Jadi, jika untuk masuk ke sebuah tempat diperlukan izin, berarti itu adalah kehidupan khusus, dan jika tidak memerlukan izin, maka itu merupakan kehidupan umum.
Sementara itu Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Ini merupakan tuntunan adab-adab syar’i yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing dan mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman. Yaitu janganlah mereka memasuki rumah-rumah yang bukan milik mereka hingga mereka meminta izin dan mengucapkan salam kepada pemilik rumah tersebut. Dan hendaknya seseorang meminta izi sebanyak tiga kali. Kalau diizinkan hendaklah ia masuk, dan jika tidak hendaknya ia pulang dan meninggalkan rumah tersebut. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih: “Bahwasanya shahabat Abu Musa Al-Asy’ary –radhiyallahu ‘anhu- meminta izin untuk masuk ke rumah Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah, maka Abu Musa Al-Asy’ary pulang meninggalkan rumah tersebut.”
Adapun imam Ath-Thabari –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat di atas berkat, “Para mufassirin berbeda pendapat tentang ayat di atas dalam kalimat, ‘tasta`nisuu’, bahwa yang benar adalah ‘hatta tasta`dzinuu’ dan bukan ‘hatta tasta`nisuu’.
Beliau –rahimahullah- juga menyebutkan satu riwayat tentang asbabunnuzul ayat di atas, “Bahwa seorang wanita pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah aku berada dalam rumahku dengan memakai pakaian (keadaan) yang aku tidak suka seorangpun dari kalangan keluargaku melihatnya, baik itu bapakku maupun anakku. Dan ada seorang dari anggota keluargaku yang suka nyelonong masuk ke rumahku sedangkan aku dalam keadaan berpakaian seadanya (tidak menutup aurat)’. Kemudian turunlah ayat di atas sebagai jawaban dari permasalahan wanita tersebut.”
Dari ayat ini dijelaskan bahwa Adab-adab Meminta Izin adalah:
1.      Disunnahkan untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.
Dari Rib’i, dia berkata: “Telah bercerita kepada kami seorang dari bani ‘Amir, sesungguhnya dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau berada di rumahnya, maka dia berkata, “Apakah saya boleh masuk?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya, “Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah Assalaamu ’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR.Ahmad dan Abu Daud)
2.      Hendaklah orang yang meminta izin untuk berdiri di sebelah kanan atau sebelah kiri pintu.
Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mengarahkan pandangannya kepada tempat-tempat yang tidak halal baginya untuk dilihat pada rumah orang tersebut, atau sesutau yang dibenci oleh si pemilik rumah kalau dia mengarahkan penglihatannya kepada sesuatu itu. Karena sesungguhnya meminta izin itu disyariatkan untuk menjaga pandangan. Dari Abdullah bin Busr, beliau berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kediaman suatu kaum, beliau tidak menghadap ke arah pintu rumah dengan wajahnya, akan tetapi beliau memalingkan wajahnya ke arah kanan atau kiri, dan berkata: “Assalamu ’alaikum, assalaamu ’alaikum”. Hal itu dikarenakan rumah kediaman di saat itu belum memiliki penghalang seperti daun pintu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
3.      Haram hukumnya bagi seseorang memandang ke dalam rumah yang bukan rumahnya tanpa izin.
Meminta izin tidak disyariatkan kalau bukan karena pandangan, barangsiapa yang telah berlebihan untuk memandang kepada apa-apa yang tidak dihalalkan baginya dengan tanpa izin, lalu kedua matanya dicungkil maka tidak ada qishash dan denda padanya. Sandaran hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu  Hurairah radhiallahu anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang dengan sengaja menengok atau memandang ke dalam rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka halal bagi mereka untuk mencukil matanya”. (HR. Muslim)
Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang menengok atau melihat ke dalam rumahmu tanpa izin darimu, lalu anda melemparnya dengan batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa bagi kamu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.      Meminta izin itu hanya tiga kali
Apabila seseorang meminta izin lalu diizinkan -maka dia boleh masuk-, akan tetapi jika tidak hendaknya dia kembali. Dari Abu Musa Al-Asy’ary secara marfu’, “Jika salah seorang dari kalian minta izin sampai tiga kali dan tidak dijawab baginya, maka hendaklah ia pulang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim )

5.      Jangan hanya mengatakan “ saya “, ketika ditanya oleh pemilik rumah, “Siapa ini?”
Hukum makruh ini dapat diperoleh dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya mendatangi Rasulullah untuk membayar hutang ayahku, kemudian aku mengetuk pintu rumah beliau. Beliau bertanya, “Siapa itu?” Aku menjawab, “Saya,” maka beliau bersabda: “Saya, saya” sepertinya beliau tidak menyukai jawaban tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka sepantasnya seseorang yang bertamu lalu ditanya oleh pemilik rumah, untuk menyebutkan namanya dengan jelas agar diketahui oleh pemilik rumah.
6.      Sepantasnya bagi orang yang meminta izin untuk tidak mengetuk pintu terlalu keras.
Karena hal ini termasuk adab yang buruk. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR. Bukhari Al-Adab Al-Mufrad)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ”Adab ini dilakukan oleh para sahabat sebagai gambaran adab yang tinggi. Ini adalah adab terpuji bagi seseorang yang berada di dekat pintu. Adapun yang jauh dari pintu, sehingga suara ketukan pintu dengan kuku tidak terdengar, maka sebaiknya mengetuk pintu lebih keras lagi sesuai yang dibutuhkan.” (Fathul Bari: 11/38)
7.      Jika pemilik rumah menyuruh untuk kembali, maka orang yang meminta izin harus kembali.
Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan apabila dikatakan kepada kalian, kembalilah. Maka kalian kembalilah. Yang demikian itu lebih menyucikan bagi kalian.“ (QS. An-Nur: 28).
8.      Tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah yang di dalamnya tidak ada seorangpun.
Dikarenakan hal itu merupakan sikap sewenang-wenang terhadap hak orang lain. Ibnu Katsir mengatakan, “Hal itu dikarenakan perbuatan tersebut adalah perbuatan mengganggu milik orang lain tanpa izinnya. Apabila dia menghendaki niscaya dia mengizinkanya dan jika tidak maka dia tidak akan mengizinkannya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3 / 281)
9.      Apabila seseorang diundang atau diutus kepada seseorang, maka dia tidak perlu minta izin untuk masuk.
Hal itu dikarenakan bahwa undangan dan diutusnya seseorang untuk menjemputnya sudah terkandung padanya permintaan izin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengundang kalian untuk makan, kemudian dia mengutus seseorang sebagai utusannya, maka itu merupakan izin baginya”. (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan pada masalah ini, jika seseorang terlambat menghadiri undangan pada waktunya, atau pada waktu itu ia berada pada tempat yang terkondisikan baginya untuk meminta izin, maka dia mesti meminta izin.
10.  Meminta izin ketika ingin berdiri dan meninggalkan dari majlis.
Yang demikian itu merupakan adab nabawiyah yang mulia. Pengunjung diarahkan untuk memiliki adab ketika hendak meninggalkan majlis. Maka, sebagaimana anda meminta izin ketika hendak masuk, begitu pula hendaknya engkau meminta izin ketika hendak meninggalkan majlis. Kemungkinan alasan diharuskannya hal itu, karena ditakutkannya mata akan melihat hal-hal yang tidak halal untuk dilihat, atau minimal hal-hal yang tidak disukai. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang di antara kalian mengunjungi saudaranya kemudian duduk di dekatnya, maka janganlah dia berdiri sampai dia memberikan izin kepadanya.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.182)
11.  Meminta izin kepada ibu atau saudara perempuan.
Yaitu agar penglihatan tidak melihat hal-hal yang dilarang, misalnya aurat, atau hal-hal lainnya yang tidak disenangi kaum wanita jika diketahui oleh selain mereka.
Diriwayatkan dari Muslim bin Nadzir mengatakan: Seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Hudzaifah menjawab, ”Jika engkau tidak meminta izin kepada ibumu, engkau akan melihat hal-hal yang engkau benci.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
12.Disunnahkan memberikan kabar kepada istri ketika akan masuk rumah.
Yaitu agar suami tidak melihat istrinya dalam keadaan yang dapat membuatnya marah, atau istri sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh suaminya, sementara dia dalam keadaan tersebut.
Dari Zainab istri Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Abdullah datang dari menyelesaikan suatu keperluan, maka dia berdehem karena khawatir kami dalam keadaan yang ia tidak sukai”. (Sanadnya dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: 3/280)
12.  Para pembantu dari kalangan budak dan anak-anak yang belum baligh, diharuskan bagi mereka untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga keadaan:
Pertama : Sebelum shalat fajar
Kedua : Waktu tidur siang sebelum dzuhur
Ketiga : Setelah shalat isya

Dan selain dari ketiga waktu tersebut maka tidak ada dosa bagi mereka. Ibnu Katsir berkata pada tafsirsurah An-Nur ayat 58 di atas, “Maksudnya apabila mereka masuk pada selain dari tiga waktu di atas, maka tidak ada dosa bagi kalian jikalau kalian membolehkan mereka, dan juga mereka tidak berdosa apabila melihat sesuatu di selain dari tiga waktu tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/303)

Referensi:
1. Tafsir Surat AnNuur, Dr. Muhammad Ali al-Hasan
2. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ath-Thabari.
3. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir.
4. Adab-adab Meminta Izin, disari dari kitab Al-Adab karya Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub, pada pembahasan Adab-Adab Meminta izin.
5. (www.muslim.or.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unreplaceable and Unrepeatable

“DAN BERSABARLAH DAN KOKOHKANLAH KESABARANMU…”