“Mahar Politik: Bukti Politik Kotor dan Logika Rancu Demokrasi-Sekuler”
“Mahar Politik:
Bukti Politik Kotor dan Logika Rancu
Demokrasi-Sekuler”
Indira S.Rahmawaty
Mahar politik (sebenarnya) adalah
rahasia umum! Artinya publik atau masyarakat awampun mengetahui hal tersebut. Mahar
politik merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang memang berbiaya
tinggi, high cost politic. Meskipun dengan berbagai kemasan istilah dan
peruntukkan, prasyarat penyetoran sejumlah uang untuk meraih kursi kekuasaan adalah
praktek yang mentradisi.Walaupun sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang
komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan hal yang mudah untuk membuktikan
bahwa mahar politik ini adalah praktek yang senyatanya terjadi.
Namun pernyataan
kader Partai Gerindra La Nyalla Mattalitti soal mahar
politik di Pilkada Jawa Timur, bisa menjadi bukti
yang cukup mewakili. Bahwa praktek mahar politik ini adalah praktek “kotor” dan
perilaku rusak yang dianggap biasa, lumrah, rasional, logis dan tidak ada
masalah tentangnya. Praktek mahar politik yang dianggap lumrah ini juga diamini
oleh sejumlah politisi -termasuk politisi dari partai politik berbasis Islam-
bahwa ini adalah konsekuensi dari realitas politik sistem Demokrasi Liberal,
meskipun tetap berargumen bahwa praktek tersebut tidak tepat disebut mahar
politik tapi biaya atau dana politik saja.
Namun di sisi lain tampak logika yang
rancu, di satu sisi mahar politik dipandang sebagai konsekuensi demokrasi tapi
di sisi lain ada yang menilai mencederai bahkan menghancurkan nilai-nilai
demokrasi. Inilah bukti logika demokrasi yang rancu dan banyak versi. Jika kita
selusuri, sistem demokrasi ini sejak awal memang gagal dalam mengenali praktek
politik yang bersih dan jauh dari praktek money politic. Sejarah kelahiran
demokrasi yang muncul sebagai reaksi terhadap kedikatatoran raja dan pendeta Eropa
adalah salahsatu yang menjadi penyebabnya. Sekulerisme dan Materialismepun
jelas menjadi ruh dari setiap praktek demokrasi. Akhirnya, mereka yang berusaha
berpegang pada standar halal-haram atau standar etika tak kuasa tergerus logika
dan mekanisme demokrasi yang sekuler-materialis.
Kesimpulannya, demokrasi memang
memiliki cacat bawaan. Maka, Apakah kita akan masih percaya pada sistem yang
cacat ini?sistem yang menghalalkan praktek kotor dan penuh logika rancu?Kenapa
kita tak bersegera mengambil sistem Islam yang datang dari Dzat Yang Maha
Sempurna tanpa cacat? Sistem yang akan mengangkat manusia pada ketinggian dan
kemuliaan derajatnya?
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
”Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah ayat 50).
Dalam Islam, politik adalah ajang pengabdian yang tulus
kepada umat. Penguasa mengemban amanah kepemimpinan untuk memastikan
terlaksananya kema’rufan dan tercegahnya kemunkaran. Cukuplah para Khulafa
ArRasyiduun menjadi contohnya. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Radhiyalllahu Anhum
memperoleh kekuasaan tanpa mahar dan tanpa balik modal!. Khulafa ArRasyiduun terpilih
atas dasar kepercayaan penuh umat terhadap mereka. Terakhir, politik dalam
Islam adalah praktek total melayani umat yang sejak awal sang penguasa siap
menjadi orang pertama yang sengsara dan orang terakhir yang bahagia. Hal ini
sebagaimana tergambar dalam ungkapan Khalifah Umar bin Khathab:
"Sekiranya
rakyatku kelaparan, akulah orang pertama yang merasa lapar. Dan jika
rakyatku kenyang, maka akulah orang yang terakhir kenyang"
WaLLAAHU A’lam
15 Januari 2018
#RinduKhilafah
Komentar
Posting Komentar